Senin, 12 Maret 2012

Komitmen

Pagi ini setelah menikmati malam bersama teman - teman seperjuangan ada sebuah undangan yang hampir saja aku lewatkan karena salah melihat jam. Sebelum menuju tempat itu aku bersiap - siap dulu di sudut kamarku. Lantas aku pergi dan hadir dalam undangan itu. Dalam acara itu seorang ustadz memberikan materi tentang sebuah komitmen. Ya Komitmen.
Pada awal materi ustadz menceritakan tentang seorang yang cacat tak memiliki tangan dan kaki. beliau menceritakan bahwa orang itu telah berkoimtmen untuk tetap berusaha meski ia terbatas dan ia mampu. kemudian beliau melanjutkan dengan menceritakan tentang pertemuan DPM se-Indonesia saat beliau menjabat. Saat itu pertemuan diadakan di Makasar dan disana sedang melangsungkan pemilihan ketua BEM universitas. kemudian beliau menceritakan bahwa saat seorang ikhwah mencalonkan diri suatu malam kosan ikhwah tersebut diketuk pintunya dan saat ikhwah itu membuka pintu sebuah alat senjata (dalam bayangan saya celurit) sudah berada dilehernya siap untuk menebas. Kemudian tamu yang mengancam itu berkata, "turun dari pencalonan ketua BEM". saat ikhwah itu menolak maka senjata itu menebas lehernya hingga ikhwah itu tewas (Insya Allah Syahid). kemudian beliau mengatakan bahwa perjuangan al - akh yang harus rela menukar nyawa untuk mempertahankan kepercayaan dakwah untuk mengambil amana sebagai presiden bem univ merupakan komitmen yang tinggi. Ia Ridho saat nyawa menjadi taruhannya untuk kemenangan dakwah kampus. Rekannya dalam dakwah pun bersedia menggantikannya dan memenangkan pemilu itu. Subhanaalah, kemudian ustdaz itu berkata, "saat antum berkomitmen dengan amanah antum disini maka bayaran terbaik mengganti pengorbanan antum. Syahid seperti ikhwah ini. Syahid itu meninggalnya seperti digigit semut saja kata Rasulullah sedangkan mati di atas ranjang bagaikan digigit singa."
Komitmen itu berbeda dengan formalitas. formalitas hanya menghasilkan sesuatu tanpa makna. Ustadz itu berkata, "antum nerima amanah tapi ngeluh saat menyelesaikannya. selesai sih selesai tapi antum gak dapet apa - apa dari sana"
Komitmen itu bagaimana kita memberikan segala - galanya yang terbaik untuk amanah yang terembankan pada kita. Memberikan yang terbaik akan membuat kita mendapatkan yang terbaik pula.
Komitmen itu adalah cinta. ustadz tersebut menderitakan tentang seorang pengorbanan ibu saat gempa terjadi dan memporak - porandakan rumahnya. saat itu sang ibu tengah bersama anaknya. sang ibu ingin anaknya tetap hidup maka ia menjadi tameng saat robohan bangunan rumah itu rubuh dan menghantam tubuh sang ibu yang tengah melindungi anaknya. saat dievakuasi sang ibu sudah tidak bernyawa dan anaknya bisa terselamatkan. sang ibu menitipkan pesan pada anaknya, "aku senang kamu selamat. aku mencintaimu."
Itulah cinta akan memulai segalanya dengan indah. Saatnya kita berkomitmen dan mengawali dengan cinta. Untuk kehidupan ini, dan untuk amanah - amanah yang terembankan.

Minggu, 11 Maret 2012

Karena Dakwah Ibarat Sebuah Bangunan Rumah

Teringat sebuah dialog dengan seseorang yang sudah banyak pengalamannya dalam jamaah dakwah. saat itu beliau menasihati bahwa dakwah ibarat sebuah bangunan rumah. 
Rumah kita tahu terdiri dari halaman yang dipagari kemuadian di dalamnya terdapat sebuah bangunan rumah. Rumah yang utuh begitulah adanya. Rumah yang kita huni akan ada yang istiqomah memberi ujian untuk menghancurkan bangunan rumah ini. Dan kita adalah para pelaku dakwah yang menjadi unsur penjaga keutuhan rumah dari gangguan yang mengancam kehancuran. 
Ada kalanya kita menjadi seseorang mas'ul yang siap ditempatkan di atas rumah menjadi orang pertama yang siap menerima serangan. ia bertugas mengomandoi dan mengayomi pasukan dakwahnya. 
Ada kalanya kita harus menjadi garda terdepan menjadi pagar sebagai perpanjangan tangan dari sang komandan. kita yang akan pertama kali juga menerima serangan dari luar. Dan tugas kita tetap menjaga keutuhan bangunan dakwah.
Ada kalanya kita menjadi batu bata yang tersusun rapi dan utuh. Ia siap menerima perintah untuk menjaga dari serangan musuh.
Dan ada kalanya batu bata itu harus menempati posisi yang kurang menguntungkan dirinya, harus menempati celah dan terpaksa ia harus dibagi dua melengkapi bangunan dakwah, tetapi bangunan dakwah menjadi kokoh dan utuh atas keikhlasan batu bata tersebut.
Nah, apapun poisisinya kita tetap menjadi faktor yang membuat utuh dan kokoh bangunan dakwah. Biarlah tak menjadi seorang mas'ul yang siap menerima serangan pertama kali, atau menjadi pengurus inti menjadi garda terdepan dalam dakwah, biarlah hanya menjadi batu bata bahkan harus dibagi dua karena semuanya tetap menjadi bagian yang menjaga bangunan dakwah tetap utuh dan kokoh. Bukan karena poisis lantas ia masuk surga tapi bagaimana ia mampu bertanggung jawab dalam memegang amanah.

wallahu'alam