Jumat, 29 November 2013

Balada Hujan: Masa kelam tergantikan oleh masa terang

Disclaimer: Masashi Kisimoto
story by me
pairing ShikaTema
Rating T
warning OOC


Aku melihat tetesan air mata di sudut matamu. Mengalir syahdu di kedua pipimu.
"Ada apa?" tanyaku kembut seraya menghapus air mata yang membentuk sungai di kedua pipimu. Kamu tak menjawab, hanya melingkarkan lengan di pinggangku dan menenggelamkan kepalamu di bahuku. Tangis yang air matanya sudah kuhapus tadi berubah menjadi isak yang menggugu. Kesedihanmu mengalir pada hatiku. Beberapa tetes air mata pun mengawali tangisku.
"Mengapa kamu menangis Shikamaru?" tanyaku lembut seraya mengusap punggungnya yang bidang itu. Cukup lama tak ada jawaban. Kamu masih sibuk menangis membasahi bahuku. Aku diam menebak-nebak sebab yang membuatmu bersedih hati. Aku menyimpulkan beberapa, tapi tetap saja kutunggu jawabmu.
"Temari, aku kehilangan harapan dari sosok yang selalu menebarkan bibit harapan," jawabnya seraya melepaskan lingkaran lengan di pinggangku dan mengangkat wajahnya dari bahuku, menatap kedua mataku dengan syahdu.
"Ayahmu?" tanyaku ragu yang kamu balas dengan anggukan pelan. Pandanganmu berpaling pada awan yang tengah menjelma menjadi cumulo nimbus menandakan hujan akan segera meramaikan sudut desa.
"Hidup itu adalah siklus. Seperti air. Ia menguap menjadi awan dan turun menjadi hujan kembali menjadi air. Pun manusia ia diciptakan dalam bentuk ruh diberi kesempatan turun ke bumi menerima jasad dan akan mati untuk kembali menjadi ruh," ujarku berupaya menyemangatinya dengan berfilosofi tentang hidup. Pandanganmu lurus ke awan, menerawang, mengais keyakinan, dan menguatkan harapan.
"Jika kau pikir hujan adalah masa kelam maka sabarlah ia akan berhenti dan menyingkir memberi kesempatan untuk matahari memberikan masa paling terang. Jika kau pikir kematian ayahmu adalah hal yang menyedihkan maka ikhlaskanlah ia akan terurai mengendap menjadi kenangan yang bersenandung dalam do'a. Sebaik-baik bakti dari seorang anak adalah do'a," ujarku terus berupaya menguatkan hatimu. Kamu tidak seperti biasanya. terlalu suram. Kemana ekspresi malasmu yang selalu melekat di wajah malasmu? Kemana kata-kata yang kupikir hanya itulah yang hanya bisa kau ucapkan, Mendokusei?
Awan akhirnya luruh terpecah menjadi tetesan hujan yang deras. Menghentak bumi yang kering kerontang. Memerihkan luka para pemuran durja. Menyamarkan duka dan lara.
"Shikamaru, hujan ayo kita pergi!" ujarku seraya bangkit dan bersiap untuk lari mencari tempat teduh untuk berlindung. Tanganmu menahanku untuk tidak pergi.
"Jika hujan ini akan berakhir dan kegelapan akan tergantikan oleh cahaya. Temari, mau kah kamu menjadi cahaya untuk kehidupanku?" tanyamu lembut seraya menatap lekat kedua mataku. Aku terkejut, hati tersentak dan seolah berhenti berdetak.
"Apa maksudmu?" tanyaku ragu.
"Temari, jangan pergi dari hidupku!" katamu tegas yang juga tampak dari tatapan matamu yang dibasahi oleh hujan. Aku terkejut.
"Jadilah cahaya hidupku," ujarmu seraya menarik tubuhku dalam pelukanmu dengan erat. Aku membalas pelukan itu untuk menguatkan bahwa aku akan selalu berada disisinya, menjadi cahaya dalam hidupnya karena aku adalah istrinya.

Balada Hujan: Hujan Tak Usah Berhenti!

Rinai hujan tengah berdendang memenuhi ruang yang disebut bumi. Aku tertahan di sebuah café yang menyediakan kopi, teh, coklat dan berbagai jenis kue. Aku bekerja disini. Orang biasa nya datang untuk sekedar mengobrol sambil menyeruput secangkir kopi panas ditemani sepotong kue, tapi tidak dengan kamu yang hanya terbiasa duduk di bangku taman sebrang café ini untuk melukis. Seringkali aku memergokimu melukis sebua danau yang tenang padahal kamu melukisnya di Jantung kota yang ramai atau melukis hutan dengan guguran daun-daun di musim gugur yang berwarna jingga padahal kamu melukisnya di musim dingin yang putih. Aku selalu memperhatikanmu dari kejauhan sambil melayani pelanggan. Kamu unik dengan wajahmu yang tanpa ekspresi meski sedang melukis.
Kali ini aku tak melihatmu di taman kota seberang café tempatku bekerja. Kamu tengah duduk di sofa di Sudut ruangan café ini. Kini kamu tengah melihat rintik hujan yang deras menumbuk jalanan beraspal. Sudah satu jam kamu duduk di sudut ruangan bersama secangkir capucinno dan red velvet yang tak juga kamu sentuh. Perhatianmu sepenuhnya tertuju pada jalanan yang becek dan berpola karena tetesan hujan yang menumbuknya. Aku ingin tahu apa yang kau pikirkan dengan mencoba membaca ekspresi wajahmu. Ah, tentu saja sulit karena wajahmu seperti biasa tanpa ekspresi.

Aku yang tak bisa sabar lagi untuk melihat apa yang akan kau lakukan dengan kopi dan kue yang kuyakin sudah sama dengan suhu ruangan memberanikan diri untuk menyapa yang jelas taka da dalam SOP pelayanan. Aku melakukannya untuk kepuasan tersendiri karena sejak lama hatiku terus bergetar saat memperhatikanmu dari kejauhan.
“Tuan, sepertinya kopi anda sudah dingin,” ujarku mulai menegurmu. Beberapa detik setelahnya kamu memalingkan wajahmu untuk sepenuhnya melihat ke arahku yang tengah tersenyum ramah. 
"Akan kuminum nanti setelah aku mau atau jika aku mau," ujarmu dingin tapi memaksakan diri untuk tersenyum. Di mataku senyummu terlalu dingin. Mengerikan. Kata itulah yang muncul dalam benakku.
"Baiklah. Selamat menikmati hari anda," ujarku yang kemudian undur diri untuk kembali ke balik lemari-lemari kue atau bar untuk menyiapkan kopi dan sebagainya.
Tiga puluh menit berlalu sejak aku menyapamu. Kulihat sekilas dirimu yang mengambil sketch book dan mulai menggoreskan pensil untuk membuat sebuah sketsa. Aku tetap melayani beberapa pelanggan yang datang dengan tubuh yang basah karena kehujanan. Tak perlu lama bagimu menyelesaikan sketsa itu. Kamu meletakkannya di meja dan mulai menyeruput kopi yang sudah dingin juga beberapa suap kue. 
Hujan pun akhirnya berhenti menyisakan jalanan yang becek dan suhu udara yang di bawah suhu ruangan membuat orang-orang merapatkan jaketnya untuk menghangatkan badan. Kamu yang berniat berteduh pun akhirnya bangkit dari duduk dan membereskan peralatan menggambar yang tadi sempat kamu keluarkan. Namun, kamu menyisakan selembar kertas yang tadi kau goreskan pensil untuk membuat sketsa di atasnya. Kamu beranjak meninggalkan sofa juga meninggalkan kopi yang masih setengah dan kue yang juga masih setengah. Kukira kamu akan langsung menuju pintu dan pergi meninggalkan cafe ini, tetapi kamu malah berjalan ke arahku.
"Terimakasih atas perhatiannya selama ini. Aku harus pergi. Ini hadiah untukmu. Aku takkan datang lagi," ujarnya seraya menyerahkan kertas sket yang tadi kau goreskan pensil untuk membuat gambar di atasnya. Kamu kemudian pergi dan menghilang dari pandanganku.
Hingga punggungnya tak bisa lagi ditangkap oleh mataku aku tak melihat gambar yang ia buat. Setelah punggung itu berlalu kualihkan mataku menuju kertas yang berisi gambarnya.
Seketika aku lari menyusul orang yang baru saja pergi meninggalkan cafe. Aku berusaha mengejarnya, tapi semuanya sudah terlambat aku tak bisa menemukannya. Seketika air mataku mengalir menangisi kepergiannya.
"Harusnya hujan tak usah berhenti hingga ia menahanmu untuk tak pergi meninggalkanku dan aku bisa menyeduhkan bercangkir-cangkir kopi untuk menemanimu" ujarku lemah sambil menangis.
Kertas yang ia berikan untukku berisikan sebuah gambar wanita yang tengah duduk di sebuah sofa di sudut ruangan cafe dan memandang ke seberang cafe tepatnya taman kota pandangannya begitu bahagia dan menunjukan rasa suka. Aku sadar itu aku. Di balik kertas yang berisikan gambar terdapat tulisan.
'Terimakasih atas perhatianmu dengan pandangan bernina-binar itu. Aku merasa terharu. Maaf kini aku akan hilang dari pandanganmu mungkin sofa yang kurasakan hangat ini akan terasa dingin karena tak ada yang sengaja duduk hanya untuk memperhatikan pria berambut hitam berwajah pucat tanpa ekspresi sedang melukis sesuatu. Selamat tinggal'