Usep Muhammad Ishaq SSi MSi
(Direktur PIMPIN Bandung)
Tidak gampang
membangun sistem pendidikan yang sejalan dengan cita-cita bangsa sebagaimana
dituangkan dalam UUD 1945, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial.
Kenyataan ini tengah
dihadapi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) yang pada tahun ini
akan menerapkan kurikulum 2013. Meskipun ditentang, kurikulum baru yang
dikatakan lebih menekankan aspek kognitif, kreatif, produktif, dan inovatif ini
akan mengganti kurikulum yang lama.
Jika berkaca pada
tahun-tahun sebelumnya, mulai dari CBSA, KBK dan KTSP, setiap perubahan
kurikulum selalu gagal diimplementasikan di lapangan karena sekolah dan guru
belum benar-benar memahami kurikulum yang lama, kurikulum baru sudah akan
dibuat.
Kenyataannya, masih
banyak masalah yang sebenarnya menjadi persoalan mendasar dalam pendidikan,
seperti tata kelola pendidikan yang buruk dan ketersediaan tenaga pendidik yang
kurang kompeten. Hal ini yang menyebabkan pendidikan di Indonesia sulit
melahirkan generasi berkarakter Islami dan bertakwa.
Untuk membahas hal
itu, Wartawan Majalah Gontor Ahmad Muhajir berkesempatan mewawancarai Usep
Muhammad Ishaq S.Si, M.Si, Direktur PIMPIN yang pernah menulis buku “Menguak
Rahasia Alam dengan Fisika” (2009). Buku ini ditulis untuk siswa-siswi Madrasah
Aliyah dan Pesantren dan pernah menenangkan lomba nasional penulisan buku MIPA
Departemen Agama RI. Berikut petikan wawancaranya:
Bagaimana Anda melihat pendidikan di Indonesia saat ini?
Pendidikan di Indonesia saat ini masih menekankan aspek-aspek
keterampilan dan peningkatan aspek kognitif, padahal tujuan dan makna pendidikan
seperti yang diamanatkan UU adalah di antaranya dan pertama-tama membentuk
manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia.
Amanat UU itu jelas bahwa seluruh aktivitas pendidikan harus mengarah
kepada manusia beriman dan bertakwa. Bahkan, dalam pendidikan sains sekalipun
muaranya pada iman dan takwa, bukan semata-mata pada aspek keterampilan dan
kognitif.
Hanya saja, amanat UU itu belum sepenuhnya tercermin dalam sistem
pendidikan kita: metodologi pengajaran, tindakan kelas, kurikulum, dan
buku-buku teks. Aspek keterampilan dan kognitif tentu perlu dan penting, tetapi
sama sekali belum cukup, karena manusia yang cerdas namun berakhlak dan beradab
rendah daya rusaknya lebih dahsyat daripada manusia yang tidak cerdas.
Pendidikan seperti apa yang ideal untuk generasi bangsa ini?
Tujuan dan makna dari pendidikan seperti yang diamanatkan UU sebetulnya
sangat baik, yakni membentuk manusia beriman dan bertakwa, juga manusia
berakhlak dan beradab, seperti yang dicita-citakan dasar negara kita.
Masalahnya, bagaimana menurunkan cita-cita besar itu pada sistem pendidikan,
kurikulum, guru-guru, dan lembaga pendidikan.
Bagaimana Anda menanggapi rencana pemerintah yang akan memberlakukan
kurikulum baru tahun 2013?
Perubahan kurikulum selama ini sebatas pada aspek-aspek teknis, seperti
muatan lokal, kompetensi dasar, jumlah jam mata pelajaran, struktur dan alokasi
mata pelajaran dalam kurikulum, perubahan buku teks, dan pembuatan silabus.
Selama perubahan kurikulum hanya dititikberatkan pada hal-hal teknis itu,
selamanya tidak akan menyentuh masalah-masalah moral, akhlak, iman dan takwa.
Ada hal positif dari kurikulum 2013 ini karena sudah mulai memasukkan
nilai-nilai spiritual pada setiap kompetensi dasar mata pelajaran. Misalnya,
dalam IPA disebutkan bahwa pelajaran IPA harus menambah keimanan dengan
menyadari hubungan keteraturan dan kompleksitas alam dan jagat raya terhadap
kebesaran Tuhan yang menciptakannya, serta mewujudkannya dalam pengamalan
ajaran agama yang dianutnya.
Itu langkah maju bagi saya, meskipun tidak sedikit yang memandangnya
sebagai langkah mundur, terutama mereka yang memandang sains itu harus terpisah
dari hal-hal spiritual. Namun masalahnya bagaimana mewujudkan ini dalam
pengajaran di kelas, dalam buku teks. Jadi, perlu cukup waktu untuk membekali
para guru memahami ini.
Di sisi lain, setiap perubahan kurikulum selalu gagal diimplementasikan
di lapangan. Guru belum benar-benar memahami kurikulum yang lama, kurikulum
baru sudah akan dibuat—dari KBK, KTSP, kemudian kurikulum 2013 ini.
Hal positif kedua adalah adanya usaha untuk membuat mata pelajaran
saling terkait satu sama lain, terintegrasi dan tidak terpisah-pisah. Itu
positif. Namun, sekali lagi, masalahnya terletak pada eksekusi dan implementasi
di lapangan.
Pemerintah selalu gonta-ganti kurikulum sehingga ada kesan setiap ganti
menteri berarti ganti kurikulum. Apakah hal ini baik untuk pendidikan di
Indonesia?
Ini yang kurang baik. Perubahan kurikulum itu keniscayaan, namun jika
tanpa arah yang jelas dan tidak esensial, akibatnya hanya pemborosan dan
kebingungan di tingkat implementasi. Padahal, perubahan seharusnya terencana,
dibuat oleh para ahli multidisipliner yaitu ahli pendidikan yang memahami
filosofi, hakikat dan tujuan pendidikan, memahami hakikat manusia, memahami
ilmu dan adab. Tanpanya, penggantian kurikulum akan cenderung artifisial.
Selain itu, perubahan kurikulum harus lepas dari perubahan rezim dan
aspek politis, sebab kurikulum berbicara masalah karakter bangsa,
masalah-masalah fundamen dan lebih permanen dari sekadar pergantian penguasa.
Kita tidak harus membeo pada sistem pendidikan luar negeri
yang secara hakikat memiliki perbedaan mendasar. Dalam sistem pendidikan kita,
ada aspek iman dan takwa di situ. Kita hanya mengambil hal-hal yang positif dan
yang diperlukan dari sistem pendidikan di luar negeri, dan perlu merumuskan
sendiri untuk mencapai tujuan pendidikan kita.
Apa yang menurut Anda harus ditekankan dari perubahan kurikulum
tersebut?
Pertama, perumus kurikulum harus diserahkan kepada mereka yang paham
pada makna pendidikan. Kedua, perubahan kurikulum tidak sekadar masalah teknis
dan metodologis, tapi filosofis yang arahnya mencapai pada hakikat dan makna
pendidikan yang sudah disepakati.
Jadi, tolak ukurnya, sejauh mana kita mencapai makna dan tujuan
pendidikan, bukan semata-mata menjawab perubahan zaman. Adapun teknis dan
metodologis mengikuti kebutuhan pada level filosofis. Ketiga, berikan waktu
pada perubahan kurikulum untuk dipahami hingga pada level dan satuan pendidikan
terbawah.
Sejauh mana materi pendidikan agama dan nilai-nilai moral diserap oleh
siswa?
Kita harus mulai mengubah cara pandang bahwa pendidikan agama dan moral
adalah tanggung jawab guru agama saja. Sebab makna pendidikan dalam segala
pelajaran bermuara pada iman dan takwa. Maka guru sains, matematika, IPS,
sejarah punya tanggung jawab dalam bidang moral dan agama. Itu yang pertama.
Yang kedua, pendidikan agama dan nilai moral tidak mungkin berhasil jika
nilai agama dan moral tidak dijalankan terlebih dahulu oleh para pendidik. Ini
masalah keteladanan. Saya tidak sepakat dengan kurikulum yang berpusat kepada
peserta didik serta lingkungan. Dalam masalah-masalah tertentu, gurulah dan
harus guru, yang menjadi posisi sentral dalam proses pendidikan. Misalnya,
masalah akhlak, moral, dan adab.
Pesantren sebetulnya selangkah lebih maju di mana para santri melihat
keseharian para ustadnya: bagaimana guru memperlakukan istri dan anak-anaknya,
bagaimana ketaatan guru, adab-adab guru dalam setiap detail kehidupannya.
Inilah yang dilakukan Nabi Muhammad SAW, karena adab dan akhlak tidak bisa
sekadar diajarkan dalam ruang kelas.
Bagaimana Anda melihat ketersediaan guru di Indonesia, apakah bisa
diharapkan?
Tidak dapat dipungkiri bahwa minat masyarakat untuk menjadi tenaga pendidik
masih rendah, meski patut diakui bahwa apresiasi pemerintah kepada tenaga
pendidik sudah jauh lebih baik dari sebelumnya, seperti tunjangan tambahan
dalam bentuk kebijakan sertifikasi guru dan dosen. Ini menaikkan minat
masyarakat untuk menjadi pendidik.
Namun jika tidak dikawal dengan rencana dan program yang jelas, bisa
berdampak negatif. Misalnya, guru yang mati-matian mencari sekolah demi
memenuhi jumlah jam mengajar yang dipersyaratkan dalam tunjangan profesi, yang
terkadang tanpa memperhatikan bidang keahlian guru. Demikian pula dengan dosen,
terkadang hanya diperoleh dengan pemenuhan BKD (Beban Kerja Dosen) yang
seadanya.
Bagaimana dengan infrastruktur dan sarana pendidikan di Indonesia?
Infrastruktur, fasilitas dan sarana pendidikan di Indonesia secara umum
masih tertinggal dibandingkan, katakanlah Malaysia. Itu fakta. Namun hal-hal
material seperti itu bukanlah segala-galanya. Tolok ukur kecemerlangan
pendidikan ada pada manusianya, bukan pada fasilitas dan infrastruktur
semata-mata.
Seorang pakar pendidikan Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud mengatakan, “Jika
universitas dunia Islam menggunakan tolok ukur keunggulan dan kecemerlangan
berasaskan pandangan alam dan nilai keilmuan yang bertentangan dengan pandangan
alam dan nilai keilmuan Islam, maka keunggulan dan kecemerlangan yang diraih
itu akan menggantikan sebagian penting ruh Islam dan tradisi agama serta
institusi peradaban.”
Dewasa ini selalu ada dikotomi pendidikan umum dan agama, apa pendapat
Anda?
Dikotomi ini dampak dari sekularisasi dunia Barat yang secara sadar atau
tidak telah diimpor oleh para sarjana Muslim ke dunia Islam. Epistemologi Islam
sebenarnya lebih kaya dan lebih luas dari epistemologi Barat. Ada Khabar
Shadiq dan hierarki di situ, yang tidak dikenal dalam epistemologi keilmuan
Barat.
Ketika
bekal epistemologi Barat yang dimiliki para ilmuwan dan pendidik Muslim harus
berhadapan dengan pendidikan agama, maka muncul masalah yang membawa pada
dikotomi. Karena masalah dikotomi ini masalah epistemologis, maka obatnya harus
obat epistemologis. Para guru dan dosen Muslim perlu memahami epistemologi yang
benar menurut Islam. Jika tidak, masalah dikotomi keilmuan dan pendidikan tidak
akan selesai.
Biodata
Nama : Usep Mohamad Ishaq S.Si, M.Si.
TTL :
Bandung, 11 April 1976
Pendidikan : Sarjana (S1) Departemen Fisika, Institut Teknologi Bandung
(2000)Magister (S2) Program Studi Fisika, Institut Teknologi Bandung (2005)
Aktivitas : Direktur PIMPIN (Institut Pendidikan Islam dan Pembangunan
Insan)
Dosen mata kuliah Fisika UNIKOM Bandung
Koordinator Laboratorium Fisika Dasar UNIKOM
Bandung
Ketua Jurusan Teknik Komputer UNIKOM
(2005-2006)
Karya Tulis :
1.
Fisika Dasar (Graha,
Yogyakarta Ilmu - 2006)
2.
Porosity and
Fracture Pattern of Coal as CBM Reservoir Asian Physics Symposium
(2009)
3.
Prospek Coalbed
Methane sebagai Sumber Energi Alternatif Baru (Kopertis Wil IV –2006)
4.
Study of Seismic
Wave In Fractured Reservoir Rock Using Analytical and Physical Model,
Proceeding of Asian Physics Symposium (Departemen Fisika
ITB-2005)
5.
Pemetaan Bawah Tanah
Menggunakan Metode Geolistrik di Lebak Siliwangi (LPPM UNIKOM -2004)
6.
Elektrisitas dan
Magnetisme (Graha Ilmu -2007)
7.
Menguak Rahasia Alam
Dengan Fisika (Buku Pemenang 1 Nasional Lomba Penulisan Buku MIPA Departemen
Agama RI- Penerbit Albama – 2009).disalin dari laman http://www.majalahgontor.net/index.php?option=com_content&view=article&id=649%3Aperubahan-kurikulum-harus-bebas-dari-kepentingan-rezim&catid=25%3Awawancara&Itemid=104
Tidak ada komentar:
Posting Komentar