Disclaimer: Masashi Kisimoto
story by me
pairing ShikaTema
Rating T
warning OOC
story by me
pairing ShikaTema
Rating T
warning OOC
Aku melihat tetesan air mata di sudut matamu. Mengalir syahdu di kedua pipimu.
"Ada apa?" tanyaku kembut seraya menghapus air mata yang membentuk sungai di kedua pipimu. Kamu tak menjawab, hanya melingkarkan lengan di pinggangku dan menenggelamkan kepalamu di bahuku. Tangis yang air matanya sudah kuhapus tadi berubah menjadi isak yang menggugu. Kesedihanmu mengalir pada hatiku. Beberapa tetes air mata pun mengawali tangisku.
"Mengapa kamu menangis Shikamaru?" tanyaku lembut seraya mengusap punggungnya yang bidang itu. Cukup lama tak ada jawaban. Kamu masih sibuk menangis membasahi bahuku. Aku diam menebak-nebak sebab yang membuatmu bersedih hati. Aku menyimpulkan beberapa, tapi tetap saja kutunggu jawabmu.
"Temari, aku kehilangan harapan dari sosok yang selalu menebarkan bibit harapan," jawabnya seraya melepaskan lingkaran lengan di pinggangku dan mengangkat wajahnya dari bahuku, menatap kedua mataku dengan syahdu.
"Ayahmu?" tanyaku ragu yang kamu balas dengan anggukan pelan. Pandanganmu berpaling pada awan yang tengah menjelma menjadi cumulo nimbus menandakan hujan akan segera meramaikan sudut desa.
"Hidup itu adalah siklus. Seperti air. Ia menguap menjadi awan dan turun menjadi hujan kembali menjadi air. Pun manusia ia diciptakan dalam bentuk ruh diberi kesempatan turun ke bumi menerima jasad dan akan mati untuk kembali menjadi ruh," ujarku berupaya menyemangatinya dengan berfilosofi tentang hidup. Pandanganmu lurus ke awan, menerawang, mengais keyakinan, dan menguatkan harapan.
"Jika kau pikir hujan adalah masa kelam maka sabarlah ia akan berhenti dan menyingkir memberi kesempatan untuk matahari memberikan masa paling terang. Jika kau pikir kematian ayahmu adalah hal yang menyedihkan maka ikhlaskanlah ia akan terurai mengendap menjadi kenangan yang bersenandung dalam do'a. Sebaik-baik bakti dari seorang anak adalah do'a," ujarku terus berupaya menguatkan hatimu. Kamu tidak seperti biasanya. terlalu suram. Kemana ekspresi malasmu yang selalu melekat di wajah malasmu? Kemana kata-kata yang kupikir hanya itulah yang hanya bisa kau ucapkan, Mendokusei?
Awan akhirnya luruh terpecah menjadi tetesan hujan yang deras. Menghentak bumi yang kering kerontang. Memerihkan luka para pemuran durja. Menyamarkan duka dan lara.
"Shikamaru, hujan ayo kita pergi!" ujarku seraya bangkit dan bersiap untuk lari mencari tempat teduh untuk berlindung. Tanganmu menahanku untuk tidak pergi.
"Jika hujan ini akan berakhir dan kegelapan akan tergantikan oleh cahaya. Temari, mau kah kamu menjadi cahaya untuk kehidupanku?" tanyamu lembut seraya menatap lekat kedua mataku. Aku terkejut, hati tersentak dan seolah berhenti berdetak.
"Apa maksudmu?" tanyaku ragu.
"Temari, jangan pergi dari hidupku!" katamu tegas yang juga tampak dari tatapan matamu yang dibasahi oleh hujan. Aku terkejut.
"Jadilah cahaya hidupku," ujarmu seraya menarik tubuhku dalam pelukanmu dengan erat. Aku membalas pelukan itu untuk menguatkan bahwa aku akan selalu berada disisinya, menjadi cahaya dalam hidupnya karena aku adalah istrinya.