Rinai hujan tengah berdendang memenuhi ruang yang disebut
bumi. Aku tertahan di sebuah café yang menyediakan kopi, teh, coklat dan
berbagai jenis kue. Aku bekerja disini. Orang biasa nya datang untuk sekedar
mengobrol sambil menyeruput secangkir kopi panas ditemani sepotong kue, tapi
tidak dengan kamu yang hanya terbiasa duduk di bangku taman sebrang café ini
untuk melukis. Seringkali aku memergokimu melukis sebua danau yang tenang
padahal kamu melukisnya di Jantung kota yang ramai atau melukis hutan dengan
guguran daun-daun di musim gugur yang berwarna jingga padahal kamu melukisnya
di musim dingin yang putih. Aku selalu memperhatikanmu dari kejauhan sambil
melayani pelanggan. Kamu unik dengan wajahmu yang tanpa ekspresi meski sedang
melukis.
Kali ini aku tak melihatmu di taman kota seberang café tempatku
bekerja. Kamu tengah duduk di sofa di Sudut ruangan café ini. Kini kamu tengah
melihat rintik hujan yang deras menumbuk jalanan beraspal. Sudah satu jam kamu
duduk di sudut ruangan bersama secangkir capucinno
dan red velvet yang tak juga kamu
sentuh. Perhatianmu sepenuhnya tertuju pada jalanan yang becek dan berpola
karena tetesan hujan yang menumbuknya. Aku ingin tahu apa yang kau pikirkan
dengan mencoba membaca ekspresi wajahmu. Ah, tentu saja sulit karena wajahmu
seperti biasa tanpa ekspresi.
Aku yang tak bisa sabar lagi untuk melihat apa yang akan kau
lakukan dengan kopi dan kue yang kuyakin sudah sama dengan suhu ruangan
memberanikan diri untuk menyapa yang jelas taka da dalam SOP pelayanan. Aku
melakukannya untuk kepuasan tersendiri karena sejak lama hatiku terus bergetar
saat memperhatikanmu dari kejauhan.
Hingga punggungnya tak bisa lagi ditangkap oleh mataku aku tak melihat gambar yang ia buat. Setelah punggung itu berlalu kualihkan mataku menuju kertas yang berisi gambarnya.
Seketika aku lari menyusul orang yang baru saja pergi meninggalkan cafe. Aku berusaha mengejarnya, tapi semuanya sudah terlambat aku tak bisa menemukannya. Seketika air mataku mengalir menangisi kepergiannya.
"Harusnya hujan tak usah berhenti hingga ia menahanmu untuk tak pergi meninggalkanku dan aku bisa menyeduhkan bercangkir-cangkir kopi untuk menemanimu" ujarku lemah sambil menangis.
Kertas yang ia berikan untukku berisikan sebuah gambar wanita yang tengah duduk di sebuah sofa di sudut ruangan cafe dan memandang ke seberang cafe tepatnya taman kota pandangannya begitu bahagia dan menunjukan rasa suka. Aku sadar itu aku. Di balik kertas yang berisikan gambar terdapat tulisan.
'Terimakasih atas perhatianmu dengan pandangan bernina-binar itu. Aku merasa terharu. Maaf kini aku akan hilang dari pandanganmu mungkin sofa yang kurasakan hangat ini akan terasa dingin karena tak ada yang sengaja duduk hanya untuk memperhatikan pria berambut hitam berwajah pucat tanpa ekspresi sedang melukis sesuatu. Selamat tinggal'
Tidak ada komentar:
Posting Komentar