Jumat, 08 Maret 2013

Senja

Apa yang identik melekat dengan senjamu?

senjaku identik dengan perpisahan.
Benci
Aku tak membenci senja, namun aku benci perpisahan.

"Selamat tinggal" Ucapmu sembari menyimpulkan di kedua pipimu yang imut.

"Sampai jumpa" balasku sambil memaksakan sesimpul senyum yang malah tampak hambar bukan manis. sesungguhnya aku membenci ucapan "selamat tinggal" walaupun saat berpisah aku lebih menyukai untuk mengucapkan "sampai jumpa". ada sebuah harap, ada sebuah kesempatan yang menandakan bahwa selepas perpisahan ini kita akan bertemu lagi. Entah kapan, entah dimana. setidaknya ia tak menyakitkan saat terdengar.
Ingin rasanya mengucap meski pelan sebuah kalimat, sebuah pertanyaan retoris, "Kapan kita akan berjumpa lagi? alasan apa ya yang membuat kita berjumpa lagi?" Namun, semua itu seolah tertahan, tercekat.
Selepas jabat tangan itu terlepas, selepas salam menguap itu akan ada pekat malam yang dingin, sepi, dan sendiri.

Itulah yang kubenci dari senja, perpisahan
senja seolah menyambut pekatnya malam yang sepi 
lantas hati bertanya
"adakah senja yang hangat yang bukan menyambut dinginnya malam?"

Cangkir mungil yang berisikan teh panas itu terus melepaskan kalor, berpindah menuju tangan yang dingin, menghangatkan hati yang sepi. Menghangatkan, memenuhi hati dengan harap. Harap hadirnya seorang selepas senja ini usai. selepas jingga berganti dengan hitam. mengganti jingga dengan pekat yang hangat. Tak ada lagi ucap "selamat tinggal", melainkan "selamat datang" 

Senja yang menyambut hangatnya malam adalah senja saat energi hidup stabil, saat separuh dien genap disempurnakan.

senja yang menyambut kembalinya belahan jiwa lebih indah dibanding dengan melepas perginya seseorang. :D yuk ah digenapkan :P

Tidak ada komentar:

Posting Komentar