Senin, 22 Juli 2013

Komentar Atas Artikel Agama dan Otak Manusia Luthfi Assyaukanie

Ini adalah tugas yang diberikan di Kuliah Islamic Worldview 2013 angkatan II. Tugas yang diberikan adalah memberikan respon atau komentar atas sebuah artikel yang disediakan dan dapat dipilih salah satu. Nah, saya memilih artikel yang berjudul Agama dan Otak Manusia yang ditulis oleh Luthfi Assyaukanie. Beliau adalah anggota dari Jaringan Islam Liberal. Berikut adalah Artikel nya.


Agama bukan hanya akal, tapi merupakan produk akal manusia. Tanpa akal tak ada agama. Hanya makhluk hidup yang berakal yang beragama. Yang tak berakal tidak menciptakan agama dan tak pernah peduli dengan agama. Yang membedakan manusia dari hewan-hewan lainnya adalah akal yang dimilikinya. Akal adalah lambang kemajuan dalam proses evolusi makhluk-hidup yang panjang.
Sebuah pepatah Arab yang diyakini sebagai hadis Nabi mengatakan bahwa “agama adalah akal” (al-dinu huwa al-aql). Pepatah ini sering dikutip ulama dan sarjana Muslim untuk menegaskan bahwa beragama membutuhkan akal agar manusia tidak terjatuh ke dalam taklid buta yang bisa menyesatkan mereka. Saya senang dengan pepatah ini, bukan hanya karena ia menunjukkan aspek rasionalitas dari Islam, tapi juga karena pepatah itu, jika ditarik lebih jauh lagi, sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan temuan para saintis tentang hubungan agama dan akal.
Agama bukan hanya akal, tapi merupakan produk akal manusia. Tanpa akal tak ada agama. Hanya makhluk hidup yang berakal yang beragama. Yang tak berakal tidak menciptakan agama dan tak pernah peduli dengan agama. Yang membedakan manusia dari hewan-hewan lainnya adalah akal yang dimilikinya. Akal adalah lambang kemajuan dalam proses evolusi makhluk-hidup yang panjang.
Akal adalah bentuk non-fisik dari otak. Ia bisa diumpamakan sebagai piranti lunak (software) yang berjalan di atas otak yang merupakan piranti keras (hardware) pada sebuah komputer. Seluruh hewan bertulang belakang (vertebrata) memiliki otak dan sebagian besar hewan tak-bertulang belakang (invertibrata) juga memiliki otak. Ukuran otak manusia lebih besar dibanding rata-rata ukuran otak hewan lainnya. Akal manusia juga merupakan yang tercanggih dibandingkan akal hewan-hewan lainnya.
Jika menggunakan analogi komputer, manusia memiliki prosesor (otak) terbaru dengan sistem operasi (akal) tercanggih, sementara hewan-hewan lain memiliki prosesor dan sistem operasi yang jauh tertinggal. Prosesor dan sistem operasi yang canggih dapat menciptakan banyak hal, seperti memroses kata, mendesain, merekam suara, memutar lagu, dan mengedit film. Sementara prosesor dan sistem operasi yang tertinggal hanya bisa melakukan kerja-kerja terbatas. Semakin tertinggal sebuah komputer semakin terbatas ia melakukan fungsinya, semakin canggih sebuah komputer semakin banyak kemungkinan yang bisa dilakukan.
Tentu saja, otak manusia jauh lebih kompleks dari komputer. Tapi analogi di atas setidaknya bisa membantu kita memahami perbandingan antara apa yang telah dilakukan manusia dengan otaknya dan apa yang telah dicapai hewan-hewan lain. Kita sering melihat dua buah komputer yang tampilan luarnya sangat mirip namun berbeda dalam kemampuan kerja yang dilakukannya. Komputer dengan “otak” yang lebih maju selalu memiliki kualitas dan kapasitas yang lebih baik.
Begitu juga manusia dibandingkan hewan-hewan lainnya. Yang membedakan mereka bukan  bentuk fisiknya, tapi otaknya. Secara fisik, manusia dan kera (orangutan, gorila, dan simpanse) tak banyak memiliki perbedaan. Semua anggota tubuh yang dimiliki manusia juga dimiliki kera, dari kepala, tangan, kaki, jumlah jemari, bahkan bagian-bagian internal dalam tubuh mereka, seperti jantung, hati, empedu, dan ginjal. Bahkan, DNA, bagian paling penting yang membentuk tubuh manusia, tak banyak berbeda dari kera. Menurut penelitian terbaru, kedekatan DNA manusia dengan orangutan sekitar 96%, dengan gorila 97% dan dengan simpanse 99%. Dengan semua kemiripan ini, pencapaian manusia jauh melampaui semua hewan jenis kera itu. Mengapa?
Jawabannya adalah otak. Otak juga yang membedakan kera dari hewan-hewan lain. Para ilmuwan sepakat bahwa kera memiliki inteligensia di atas rata-rata hewan lainnya. Kera adalah satu-satunya jenis primata, selain manusia, yang memiliki kesadaran diri dan bisa menggunakan alat sederhana, seperti batu dan kayu. Otak kera memiliki ukuran yang lebih besar dari rata-rata hewan lain dan memiliki jaringan neuron yang sangat kompleks. Hanya otak manusia yang bisa menandingi otak kera, baik dalam hal volume maupun kerumitan jaringan.
Agama, seperti juga budaya dan produk-produk lainnya, adalah hasil kerja otak. Otaklah yang menciptakan bangunan, rumah, kuil, dan candi. Otak juga yang menciptakan konsep-konsep abstrak seperti kecantikan, keindahan, kekuasaan, kekuatan, kemurkaan, dan sebagainya. Konsep-konsep dalam agama, seperti tuhan, dewa, malaikat, setan, dan sejenisnya, tidak datang begitu saja. Ia lahir dari otak yang sudah berkembang, maju, dan memiliki kosakata yang cukup untuk mengungkapkannya.
Berbagai studi terbaru tentang hubungan evolusi otak manusia dan budaya mendukung pandangan di atas. Kajian mutakhir yang dikumpulkan Voland dan Schiefenhovel (The Biological Evolution of Religious Mind and Behavior, 2009), misalnya, menegaskan nalar agama (religious mind) sebagai buah dari seleksi alam dan evolusi manusia yang panjang. Dari puluhan jenis hominid yang pernah hidup di muka Bumi, homo sapiens (manusia) yang paling unggul dan paling mampu beradaptasi dengan perubahan di sekeliling mereka. Homo sapiens menemukan agama dan menggunakannya untuk mengatasi kesulitan-kesulitan hidup yang mereka hadapi.
Otak manusia juga yang mengembangkan agama dari bentuknya yang “primitif” hingga menjadi agama-agama modern yang sistematis seperti sekarang. Tentu saja, ada sebagian ritual primitif yang hilang, tapi ada sebagian lain yang dipertahankan. Selama otak manusia masih bisa menerima ritual-ritual itu (seberapapun absurd-nya), dia akan terus hidup, tapi jika otak manusia tak bisa lagi menerimanya, ritual-ritual itu akan lenyap. Misalnya, penyembelihan anak gadis untuk dipersembahkan kepada Tuhan (dewa) pernah menjadi ritual suatu agama, tapi ketika otak manusia tak lagi bisa menerimanya, ritual itu ditinggalkan.
Pada akhirnya, seperti kata pepatah Arab yang saya kutip di atas: agama adalah akal. Tidak ada agama bagi yang tak berakal (la dina liman la aqla lah). Akal adalah pembimbing manusia yang paling alamiah. Tanpa akal, agama tak punya makna.
 Tulisan yang berwarna merah adalah tulisan yang menurut saya perlu untuk kemudian dikomentari dan dikritisi. Pada paragraf pertama dikatakan bahwa "Agama bukan hanya akal, tapi merupakan produk akal manusia." Menurut Luthfi agama adalah produk akal sehingga tanpa akal maka tidak akan ada agama atau makhluk yang tidak berakal tidak akan menghasilkan atau tidak akan beragama. Entah agama yang dimaksud disini agama yang jelas agama islam jelas bukan merupakan agama yang hadir karena akal manusia. Agama islam adalah agama yang diturunkan langsung oleh Allah SWT melalui Nabi SAW untuk seluruh umat manusia. Hal ini dijelaskan oleh Allah SWT dalam al-quran

“Pada hari ini, Aku sempurnakan bagi kamu agama kamu, dan Aku cukupkan ni’mat-Ku kepadamu, dan Aku ridla Islam jadi agamamu..” (QS,  Al Maidah 3.)

penjelasan mengenai ayat ini dijelaskan oleh Ibnu Katsir melalui Tafsirnya sebagai berikut

Ibnu Katsir rahimahullahu Ta’ala mengatakan: ”Ini adalah ni’mat Allah Ta’ala paling besar terhadap ummat ini, di mana Allah Ta’ala telah menyempurnakan agama mereka, sehingga tidak lagi membutuhkan agama yang lain, dan tidak pula memerlukan Nabi selain Nabi mereka Muhammad shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam. Karena itulah Allah Ta’ala mengutus beliau sebagai penutup para Nabi dan mengutusnya kepada seluruh manusia dan jin. Tidak ada sesuatu yang halal kecuali apa yang dihalalkannya. Tidak ada perkara yang haram melainkan apa yang diharamkannya. Dan tidak ada agama (yang benar) kecuali apa yang disyari’atkannya.  Semua berita yang disampaikannya adalah benar dan pasti. Bukan dusta dan pertentangan ( Ibnu Katsir 2/13.)

 Dalam ayat ini jelas bahwa Allah SWT adalah Dzat yang menurukan agama islam untuk seluruh umat manusia. Selain itu untuk menjelaskan bahwa Islam adalah agama wahyu bukan agama produk melalui sebuah standar penilaian mengenai agama wahyu dan agama produk. Agama wahyu memiliki ciri-ciri sebagai berikut : Agama wahyu dapat dipastikan kelahirannya; Disampaikan melalui utusan atau Rasul Allah yang bertugas menyampaikan dan menjelaskan lebih lanjut wahyu yang diterimanya dengan berbagai cara dan upaya; Memiliki kitab suci yang keotentikannya bertahan tetap; Sistem merasa dan berfikirnya tidak inheren dengan sistem merasa dan berfikir tiap segi kehidupan masyarakat, malahan menuntut supaya system merasa dan berfikir mengabdikan diri kepada agama; Ajarannya serba tetap,tetapi tafsiran dan pandangannya dapat berubah dengan perubahan akal; Konsep ketuhanannya monoteisme mutlak; Kebenaran prinsip-prinsip aj arannya tahan terhadap kritik akal; mengenai alam nyata dalam perjalanan ilmu satu demi satu terbukti kebenarannya, mengenai alam ghaib dapat diterima oleh akal; Sistem nilai ditentukan oleh Allah sendiri yang diselaraskan dengan ukuran dan hakekat kemanusiaan; Melalui agama wahyu Allah memberi petunjuk, pedoman, tuntunan dan peringatan kepada manusia dalam pembentukan insan kamil (sempurna) yang bersih dari dosa.

Dari sini sudah jelas bahwa Islam adalah agama wahyu karena islam lahir pada 17 Ramadhan bertepatan dengan tahun gajah atau 6 Agustus 610 M. Kemudian Islam disampaikan oleh utusan Allah, Rasulullah SAW. Islam juga memiliki Kitab Suci Al-Qur'an yang sudah dijamin oleh Allah SWT keasliannya dalam surat  Al-Hijr ayat 9. Ajaran agama Islam mutlak benar karena berasal dari Allah yang Maha Benar. Ajaran Islam berlaku abadi tidak berubah dan tidak boleh dirubah. Konsep ketuhanan Islam adalah tauhid, atau menuhankan yang esa, Allah adalah Esa, Esa dalam zat, Esa dalam sifat dan Esa dalam perbuatan. Dasar-dasar agama Islam bersifat fundamental dan mutlak, berlaku untuk seluruh umat manusia di manapun dia berada. Nilai-nilai terutama nilai etika dan estetika yang ditentukan oleh agama Islam sesuai dengan fitrah manusia dan kemanusiaan. Soal-soal alam semesta yang disebutkan dalam agama Islam yang dahulu diterima dengan keyakinan saja, kini telah banyak dibuktikan kebenarannya oleh sains modern. Bila petunjuk, pedoman dan tuntunan serta peringatan agama Islam dilaksanakan dengan baik dan benar maka akan terbentuklah insan kamil yaitu manusia yang sempurna.
Jelaslah semua membantah pendapat Luthfi yang menyebutkan bahwa agama adalah produk akal. 
Kemudian luthfi juga menyebutkan bahwa "Tanpa akal tak ada agama. Hanya makhluk hidup yang berakal yang beragama" pernyataan ini tidak sepenuhnya salah, tetapi tidak sepenuhnya benar juga. dari pernyataan ini Luthfi hanya menjelaskan bahwa akal adalah satu-satunya organ yang dapat memahami agama. Akan tetapi, manusia memiliki hakikat. Hakikat manusia menurut Prof. SMN. Al-Attas dalam buku Islam dan Sekulerisme menjelaskan bahwa manusia terdiri dari dua aspek,yaitu aspek jiwa (ruhani) dan aspek raga (jasmani). Esensi manusia dalam islam untuk tiap aspek meliputi ruh, nafs (jiwa), qalb (hati), dan aql (akal). unsur-unsur ini berada dalam dua aspek, yaitu ruhani dan jasmani sehingga ada ruh secara ruhani dan ada ruh secara jasmani atau nafs secara jasmani san ruhani. Juga qalb dan akal secara jasmani dan qalb dan akal secara ruhani. unsur manusia yang memahami agama adalah Qalb. Qalb secara bahasa terdiri dari qo-la-ba yang berarti bolak-balik. secara jasmaniyah qalb adalah organ yang berbentuk lonjong, yaitu jantung. Secara ruhaniyah qalb adalah organ manusia yang berfungsi untuk memahami petunjuk Allah SWT. Jadi Manusia yang beriman adalah manusia yang qalb nya masih sehat. Sedangkan akal yang disebut-sebut sebagai unsur terpenting dalam keeksistensian agama menurut Luthfi juga memiliki dua arti secara jasmaniyah dan ruhaniyah. secara jasmaniyah akal adalah organ tubuh tempat duduknya informasi dan berfungsi menerima informasi sedangkan secara ruhaniyah aql adalah karunia Allah yang bersifat ruhani yang berfungsi untuk mengenali sesuatu dan menekan hawa nafsu. Nah dari pejelasan mengenai unsur manusia ini kemudian kita bisa mengatakan bahwa Bukan tanpa akal agama tidak ada karena agama datangnya dari Allah. Tanpa Aql dan Hati maka tidak akan ada iman dan hanya makhluk yang berakal dan berhati sehat yang beriman. Makhluk Allah diluar manusia mereka bertasbih.
Pernyataan Luhtfi "Yang tak berakal tidak menciptakan agama dan tak pernah peduli dengan agama" pernyataan ini tak sepenuhnya salah dalam agama islam karena agama islam adalah agama wahyu yang datangnya dari Allah SWT bukan agama budaya atau agama yang diciptakan manusia seperti agama budha yang diciptakan budha gautama. Kemudian pernyataan selanjutnya bahwa yang tak berakal yang tak pernah peduli dengan agama ini benar karena memang orang yang berakal yang akan memikirkan segala sesuatu yang berhubungan dengan agama tapi ini juga belum lengkap karena kadang yang yang pintar menjadi tidak peduli agama bahkan menafikkan keberadaan agama. Jadi orang yang peduli dengan agama bukan saja karena akal melainkan hatinya juga yang sehat.
Pernyataan selanjutnya yang perlu dikritisi adalah "Sebuah pepatah Arab yang diyakini sebagai hadis Nabi mengatakan bahwa “agama adalah akal” (al-dinu huwa al-aql). Pepatah ini sering dikutip ulama dan sarjana Muslim untuk menegaskan bahwa beragama membutuhkan akal agar manusia tidak terjatuh ke dalam taklid buta yang bisa menyesatkan mereka." Mari kita bahasa pernyataan ini pertama dari pepatah arab yang diyakini hadits Nabi yang mengatakan bahwa agama adalah akal. Saya menemukan sumber yang menjelaskan bahwa hadits ini adalah bathil berikut penjelasan yang saya kutipkan berasal dari http://haditsdhaifmaudhu.blogspot.com/2012/03/hadits-agama-adalah-akal.html
“Agama adalah akal. Siapa yang tidak memiliki agama, tidak ada akal baginya.”


Hadits tersebut bathil.


Diriwayatkan oleh Imam an-Nasa’i dari Abi Malik Basyir bin Ghalib. Kemudian dia berkata: “Hadits ini adalah bathil munkar”. Menurut pendapat al-Albani, kelemahan hadits tersebut terletak pada seorang sanadnya yang bernama Bisyir. Dia ini majhul (asing/tidak dikenal). Inilah yang dinyatakan oleh al-Uzdi dan dikuatkan oleh adz-Dzahabi dalam kitab Mizanul-I’tidal dan al-Asqalani dalam kitab Lisanul-Mizan.

Satu hal yang perlu digarisbawahi disini ialah bahwasanya SEMUA riwayat/hadits yang menyatakan keutamaan akal tidak ada yang shahih! Semua berkisar antara dha’if dan maudhu’. Al-Albani telah menelusuri semua riwayat tentang masalah keutamaan akal tersebut dari awal. Di antaranya apa yang diutarakan oleh Abu Bakar bin Abid Dunya dalam kitab al-Aqlu wa Fadhluhu. Disitu dia menyebutkan bahwa “riwayat tersebut tidaklah shahih”. Kemudian Ibnu Qayyim dalam kitab al-Manar halaman 25 yang menyatakan bahwa: “Hadits-hadits yang berkenaan dengan akal semuanya dusta belaka”.
Kemudian pernyataan beragama membutuhkan akal agar manusia tidak terjatuh ke dalam taklid buta yang bisa menyesatkan mereka. Mari kita garis bawahi antara beragama, akal dan taklid buta. Orang beragama khususnya agama islam mereka harus meletakkan pemahaman atas segala sesuatu mengenai agama islam. Seorang muslim yang memahami islam akan mengamalkan islam secara kaffah hal ini yang kemudian menjadikan alasan Hasan Al-Banna menjadikan al-fahmu diletakkan di urutan pertama dalam rukun bai'at. menurut beliau fungsi pemahaman selaras dengan aksioma, pemikiran harus mendahului gerakan, gambaran yang benar merupakan pendahuluan dari perbuatan yang lurus. Karena ilmu merupakan bukti keimanan dan jalan menuju kebenaran. Para ahli sufi juga membuat alur: ilmu akan membentuk sikap, sikap akan mendorong perbuatan. Untuk dapat beragama dengan baik maka kita memerlukan akal untuk memahami setiap perintah yang Allah SWT perintahkan. Kita dilarang untuk taqlid buta karena setiap anggota tubuh kita akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat kelak.
bukan hanya karena ia menunjukkan aspek rasionalitas dari Islam, tapi juga karena pepatah itu, jika ditarik lebih jauh lagi, sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan temuan para saintis tentang hubungan agama dan akal.Agama bukan hanya akal, tapi merupakan produk akal manusia. Tanpa akal tak ada agama. Hanya makhluk hidup yang berakal yang beragama.Akal bukanlah bagian tubuh manusia yang memproduksi agama. Akal adalah bagian tubuh manusia yang berfungsi untuk mengenali tanda-tanda dan memahami ilmu agama yang ilmu tersebut bersumber dari wahyu yang diturunkan oleh Allah SWT. Agama bukan produk akal manusia melainkan ciptaan Allah SWT. Hanya makhluk yang berakal yang beragama yang merupakan sebuah proses pemahaman mengenai wahyu yang diturunkan oleh Allah SWT.

Akal adalah lambang kemajuan dalam proses evolusi makhluk-hidup yang panjang. pernyataan ini merujuk pada teori evolusi darwin yang menyatakan bahwa manusia berasal dari hewan yang mirip kera. Kera adalah makhluk yang tak memiliki akal karena yang diberi akal adalah manusia. setelah melakukan sebuah evolusi kera tersebut berubah menjadi manusia maka baru kemudian itu didapatkan hewan yang telah berevolusi menjadi manusia. Jelas ini salah karena manusia lahir atau diciptakan bukan dari hasil evolusi melainkan memang diciptakan Allah SWT dari saripari tanah. penciptaan ini adalah sebaik-baik penciptaan yang penciptaannya sudah beserta dengan akalnya jadi akal bukan merupakan lambang kemajuan dalam proses evolusi makhluk hidup yang panjang.

Akal adalah bentuk non-fisik dari otak. Ia bisa diumpamakan sebagai piranti lunak (software) yang berjalan di atas otak yang merupakan piranti keras (hardware) pada sebuah komputer. Dalam penjelasan yang diberikan oleh Prof. Al-Attas mengenai hakikat manusia bahwa akal yang memiliki pengertian dalam konteks jasmaniyah, yaitu akal adalah organ tubuh tempat duduknya informasi dan berfungsi menerima informasi sedangkan dalam konteks ruhaniyah aql adalah karunia Allah yang bersifat ruhani yang berfungsi untuk mengenali sesuatu dan menekan hawa nafsu.
Agama, seperti juga budaya dan produk-produk lainnya, adalah hasil kerja otak. Otaklah yang menciptakan bangunan, rumah, kuil, dan candi. Otak juga yang menciptakan konsep-konsep abstrak seperti kecantikan, keindahan, kekuasaan, kekuatan, kemurkaan, dan sebagainya. Konsep-konsep dalam agama, seperti tuhan, dewa, malaikat, setan, dan sejenisnya, tidak datang begitu saja. Ia lahir dari otak yang sudah berkembang, maju, dan memiliki kosakata yang cukup untuk mengungkapkannya. Ini adalah pernyataan yang diulang dari paragraf sebelumnya. Menegaskan bahwa agama adalah produk dari akal bahkan juga manambahkan bahwa agama disamakan dengan kebudayaan dan produk-produk lain hasil dari pemikiran akal. Jelas sekali ini adalah pendapat yang ngawur karena agama bukanlah produk otak manusia. Otak manusia hanya menerima informasi yang kemudian diterjemahkan. Agama itu sendiri sudah diciptakan oleh Allah SWT, otak manusia hanyalah menerima kemudian mengolah informasinya yang kemudian berubah menjadi amal. 

Kajian mutakhir yang dikumpulkan Voland dan Schiefenhovel (The Biological Evolution of Religious Mind and Behavior, 2009), misalnya, menegaskan nalar agama (religious mind) sebagai buah dari seleksi alam dan evolusi manusia yang panjang. Luthfi mengambil referensi yang tidak bersumber dari Al-Qur'an dan hadits untuk menjelaskan maksud agama dan otak manusia. Ia justru mengambil dari referensi barat yang jelas bertentangan dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Homo sapiens menemukan agama dan menggunakannya untuk mengatasi kesulitan-kesulitan hidup yang mereka hadapi. Pendapat ini tidak bisa dibenarkan karena agama tidak ditemukan melainkan diberikan dan penggunaannya adalah setelah manusia menerima kemudian memahaminya.
 Otak manusia juga yang mengembangkan agama dari bentuknya yang “primitif” hingga menjadi agama-agama modern yang sistematis seperti sekarang. Tentu saja, ada sebagian ritual primitif yang hilang, tapi ada sebagian lain yang dipertahankan. Selama otak manusia masih bisa menerima ritual-ritual itu (seberapapun absurd-nya), dia akan terus hidup, tapi jika otak manusia tak bisa lagi menerimanya, ritual-ritual itu akan lenyap Pendapat ini menganalogikan agama seolah seperti bayi yang terus tumbuh dan berkembang hingga menjadi dewasa. Saat usia bayi atau anak-anak ada sifat dalam diri kita yang disebut dengan kekanak-kanakan kemudian seiring dengan berjalannya waktu dan tantangan yang dihadapi kemudian sifat kekanak-kanakan itu hilang dan berubah menjadi dewasa. Nah, ibaratnya agama seperti itu. Agama yang hadir belasan bahkan puluhan abad yang lalu dianggap masih anak-anak yang pasti memiliki sifat kenak-kanakan yang mereka sebut dengan "primitif" nah maka dengan seiring berjalannya waktu saat sifat kekanak-kanakan dalam agama sudah tidak masuk akal menurut otak manusia saat ini maka hal tersebut boleh ditinggalkan. Luthfi mengambil contoh dengan tumbal manusia kepada dewa. Tak menutup kemungkinan suatu saat misalnya Luthfi merasa Sholat dalam islam sudah tidak rasional maka ia akan meninggalkan shalat juga. Jadi ukuran pelaksanaan agama berdasarkan aspek rasionalitas. Kalau Luthfi adalah seorang agama islam seharusnya ia tak melaksanakan ajaran agama berdasarkan aspek rasionalitas melainkan aspek ketaatan. Aspek Ketaatan ini yang kemudian hilang dalam pendapat Luthfi dalam melaksanakan perintah agama karena ia hanya mengagungkan sisi akal saja tidak melihat sisi qalb.
 Pada akhirnya, seperti kata pepatah Arab yang saya kutip di atas: agama adalah akal. Tidak ada agama bagi yang tak berakal (la dina liman la aqla lah). Akal adalah pembimbing manusia yang paling alamiah. Tanpa akal, agama tak punya makna. Dalam pernyataan ini Luthfi seolah ingin membantah Hadits Rasulullah yang menyatakan bahwa Qalbu adalah satu organ manusia yang paling penting dalam diri manusia bahkan menganalogikan qalb laksana komandan perang yang kalau ia baik maka baiklah seluruhnya dan bila buruk maka buruklah seluruhnya. Memang benar tak ada agama bagi yang tak berakal. karena akal fungsinya sebagai menerima informasi maka apabila ia tak berakal ia tak menerima informasi apa-apa mengenai agama sehingga qalbu dan juga akal tak mengolah pesan yang disampaikan oleh Allah SWT melalui Rasulullah SAW mengenai agama.
Dalam artikel ini Lutfhi hanya mengulang pernyataan-pernyataan yang sama dalam kalimat yang tidak jauh berbeda. Bahkan tersirat ingin menegaskan bahwa otak atau akal adalah segalanya dalam keberadaan agama itu. Seolah ia telah menuhankan otak/akal dalam sebuah agama. Ini jelas sudah bertentangan dengan ajaran din kita, yakni dienul islam.
Wallahu'alam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar