Jumat, 29 November 2013

Balada Hujan: Hujan Tak Usah Berhenti!

Rinai hujan tengah berdendang memenuhi ruang yang disebut bumi. Aku tertahan di sebuah café yang menyediakan kopi, teh, coklat dan berbagai jenis kue. Aku bekerja disini. Orang biasa nya datang untuk sekedar mengobrol sambil menyeruput secangkir kopi panas ditemani sepotong kue, tapi tidak dengan kamu yang hanya terbiasa duduk di bangku taman sebrang café ini untuk melukis. Seringkali aku memergokimu melukis sebua danau yang tenang padahal kamu melukisnya di Jantung kota yang ramai atau melukis hutan dengan guguran daun-daun di musim gugur yang berwarna jingga padahal kamu melukisnya di musim dingin yang putih. Aku selalu memperhatikanmu dari kejauhan sambil melayani pelanggan. Kamu unik dengan wajahmu yang tanpa ekspresi meski sedang melukis.
Kali ini aku tak melihatmu di taman kota seberang café tempatku bekerja. Kamu tengah duduk di sofa di Sudut ruangan café ini. Kini kamu tengah melihat rintik hujan yang deras menumbuk jalanan beraspal. Sudah satu jam kamu duduk di sudut ruangan bersama secangkir capucinno dan red velvet yang tak juga kamu sentuh. Perhatianmu sepenuhnya tertuju pada jalanan yang becek dan berpola karena tetesan hujan yang menumbuknya. Aku ingin tahu apa yang kau pikirkan dengan mencoba membaca ekspresi wajahmu. Ah, tentu saja sulit karena wajahmu seperti biasa tanpa ekspresi.

Aku yang tak bisa sabar lagi untuk melihat apa yang akan kau lakukan dengan kopi dan kue yang kuyakin sudah sama dengan suhu ruangan memberanikan diri untuk menyapa yang jelas taka da dalam SOP pelayanan. Aku melakukannya untuk kepuasan tersendiri karena sejak lama hatiku terus bergetar saat memperhatikanmu dari kejauhan.
“Tuan, sepertinya kopi anda sudah dingin,” ujarku mulai menegurmu. Beberapa detik setelahnya kamu memalingkan wajahmu untuk sepenuhnya melihat ke arahku yang tengah tersenyum ramah. 
"Akan kuminum nanti setelah aku mau atau jika aku mau," ujarmu dingin tapi memaksakan diri untuk tersenyum. Di mataku senyummu terlalu dingin. Mengerikan. Kata itulah yang muncul dalam benakku.
"Baiklah. Selamat menikmati hari anda," ujarku yang kemudian undur diri untuk kembali ke balik lemari-lemari kue atau bar untuk menyiapkan kopi dan sebagainya.
Tiga puluh menit berlalu sejak aku menyapamu. Kulihat sekilas dirimu yang mengambil sketch book dan mulai menggoreskan pensil untuk membuat sebuah sketsa. Aku tetap melayani beberapa pelanggan yang datang dengan tubuh yang basah karena kehujanan. Tak perlu lama bagimu menyelesaikan sketsa itu. Kamu meletakkannya di meja dan mulai menyeruput kopi yang sudah dingin juga beberapa suap kue. 
Hujan pun akhirnya berhenti menyisakan jalanan yang becek dan suhu udara yang di bawah suhu ruangan membuat orang-orang merapatkan jaketnya untuk menghangatkan badan. Kamu yang berniat berteduh pun akhirnya bangkit dari duduk dan membereskan peralatan menggambar yang tadi sempat kamu keluarkan. Namun, kamu menyisakan selembar kertas yang tadi kau goreskan pensil untuk membuat sketsa di atasnya. Kamu beranjak meninggalkan sofa juga meninggalkan kopi yang masih setengah dan kue yang juga masih setengah. Kukira kamu akan langsung menuju pintu dan pergi meninggalkan cafe ini, tetapi kamu malah berjalan ke arahku.
"Terimakasih atas perhatiannya selama ini. Aku harus pergi. Ini hadiah untukmu. Aku takkan datang lagi," ujarnya seraya menyerahkan kertas sket yang tadi kau goreskan pensil untuk membuat gambar di atasnya. Kamu kemudian pergi dan menghilang dari pandanganku.
Hingga punggungnya tak bisa lagi ditangkap oleh mataku aku tak melihat gambar yang ia buat. Setelah punggung itu berlalu kualihkan mataku menuju kertas yang berisi gambarnya.
Seketika aku lari menyusul orang yang baru saja pergi meninggalkan cafe. Aku berusaha mengejarnya, tapi semuanya sudah terlambat aku tak bisa menemukannya. Seketika air mataku mengalir menangisi kepergiannya.
"Harusnya hujan tak usah berhenti hingga ia menahanmu untuk tak pergi meninggalkanku dan aku bisa menyeduhkan bercangkir-cangkir kopi untuk menemanimu" ujarku lemah sambil menangis.
Kertas yang ia berikan untukku berisikan sebuah gambar wanita yang tengah duduk di sebuah sofa di sudut ruangan cafe dan memandang ke seberang cafe tepatnya taman kota pandangannya begitu bahagia dan menunjukan rasa suka. Aku sadar itu aku. Di balik kertas yang berisikan gambar terdapat tulisan.
'Terimakasih atas perhatianmu dengan pandangan bernina-binar itu. Aku merasa terharu. Maaf kini aku akan hilang dari pandanganmu mungkin sofa yang kurasakan hangat ini akan terasa dingin karena tak ada yang sengaja duduk hanya untuk memperhatikan pria berambut hitam berwajah pucat tanpa ekspresi sedang melukis sesuatu. Selamat tinggal'

Tidak ada komentar:

Posting Komentar