Selasa, 02 Juli 2013

Perubahan Kurikulum Harus Bebas dari Kepentingan Rezim

Usep Muhammad Ishaq SSi MSi
(Direktur PIMPIN Bandung) 

s
Tidak gampang membangun sistem pendidikan yang sejalan dengan cita-cita bangsa sebagaimana dituangkan dalam UUD 1945, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Kenyataan ini tengah dihadapi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) yang pada tahun ini akan menerapkan kurikulum 2013. Meskipun ditentang, kurikulum baru yang dikatakan lebih menekankan aspek kognitif, kreatif, produktif, dan inovatif ini akan mengganti kurikulum yang lama.
Jika berkaca pada tahun-tahun sebelumnya, mulai dari CBSA, KBK dan KTSP, setiap perubahan kurikulum selalu gagal diimplementasikan di lapangan karena sekolah dan guru belum benar-benar memahami kurikulum yang lama, kurikulum baru sudah akan dibuat.
Kenyataannya, masih banyak masalah yang sebenarnya menjadi persoalan mendasar dalam pen­didikan, seperti tata kelola pendidikan yang buruk dan ketersediaan tenaga pendidik yang kurang kompeten. Hal ini yang menyebabkan pendidikan di Indonesia sulit melahirkan generasi berkarakter Islami dan bertakwa.
Untuk membahas hal itu, Wartawan Majalah Gontor Ahmad Muhajir berkesempatan me­wawancarai Usep Muhammad Ishaq S.Si, M.Si, Direktur PIMPIN yang pernah menulis buku “Menguak Rahasia Alam dengan Fisika” (2009). Buku ini ditulis untuk siswa-siswi Madrasah Aliyah dan Pesantren dan pernah menenangkan lomba nasional penulisan buku MIPA Departemen Agama RI. Berikut petikan wawancaranya:
Bagaimana Anda melihat pendidikan di Indonesia saat ini?
Pendidikan di Indonesia saat ini masih menekankan aspek-aspek keterampilan dan peningkatan aspek kognitif, padahal tujuan dan makna pendidikan seperti yang diamanatkan UU adalah di antaranya dan pertama-tama membentuk manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia.
Amanat UU itu jelas bahwa seluruh aktivitas pendidikan harus mengarah kepada manusia beriman dan bertakwa. Bahkan, dalam pendidikan sains sekalipun muaranya pada iman dan takwa, bukan semata-mata pada aspek keterampilan dan kognitif.
Hanya saja, amanat UU itu belum sepenuhnya tercermin dalam sistem pendidikan kita: metodologi pengajaran, tindakan kelas, kurikulum, dan buku-buku teks. Aspek keterampilan dan kognitif tentu perlu dan penting, tetapi sama sekali belum cukup, karena manusia yang cerdas namun berakhlak dan beradab rendah daya rusaknya lebih dahsyat daripada manusia yang tidak cerdas.
Pendidikan seperti apa yang ideal untuk generasi bangsa ini?
Tujuan dan makna dari pendidikan seperti yang diamanatkan UU sebetulnya sangat baik, yakni membentuk manusia beriman dan bertakwa, juga manusia berakhlak dan beradab, seperti yang dicita-citakan dasar negara kita. Masalahnya, bagaimana menurunkan cita-cita besar itu pada sistem pendidikan, kurikulum, guru-guru, dan lembaga pendidikan.
Bagaimana Anda menanggapi rencana pemerintah yang akan memberlakukan kurikulum baru tahun 2013?
Perubahan kurikulum selama ini sebatas pada aspek-aspek teknis, seperti muatan lokal, kompetensi dasar, jumlah jam mata pelajaran, struktur dan alokasi mata pelajaran dalam kurikulum, perubahan buku teks, dan pembuatan silabus. Selama perubahan kurikulum hanya dititikberatkan pada hal-hal teknis itu, selamanya tidak akan menyentuh masalah-masalah moral, akhlak, iman dan takwa.
Ada hal positif dari kurikulum 2013 ini karena sudah mulai memasukkan nilai-nilai spiritual pada setiap kompetensi dasar mata pelajaran. Misalnya, dalam IPA disebutkan bahwa pelajaran IPA harus menambah keimanan dengan menyadari hubungan keteraturan dan kompleksitas alam dan jagat raya terhadap kebesaran Tuhan yang menciptakannya, serta mewujudkannya dalam pengamalan ajaran agama yang dianutnya.
Itu langkah maju bagi saya, meskipun tidak sedikit yang memandangnya sebagai langkah mundur, terutama mereka yang memandang sains itu harus terpisah dari hal-hal spiritual. Namun masalahnya bagaimana mewujudkan ini dalam pengajaran di kelas, dalam buku teks. Jadi, perlu cukup waktu untuk membekali para guru memahami ini.
Di sisi lain, setiap perubahan kurikulum selalu gagal diimplementasikan di lapangan. Guru belum benar-benar memahami kurikulum yang lama, kurikulum baru sudah akan dibuat—dari KBK, KTSP, kemudian kurikulum 2013 ini.
Hal positif kedua adalah adanya usaha untuk membuat mata pelajaran saling terkait satu sama lain, terintegrasi dan tidak terpisah-pisah. Itu positif. Namun, sekali lagi, masalahnya terletak pada eksekusi dan implementasi di lapangan.
Pemerintah selalu gonta-ganti kurikulum sehingga ada kesan setiap ganti menteri berarti ganti kurikulum. Apakah hal ini baik untuk pendidikan di Indonesia?
Ini yang kurang baik. Perubahan kurikulum itu keniscayaan, namun jika tanpa arah yang jelas dan tidak esensial, akibatnya hanya pemborosan dan kebingungan di tingkat implementasi. Padahal, perubahan seharusnya terencana, dibuat oleh para ahli multidisipliner yaitu ahli pendidikan yang memahami filosofi, hakikat dan tujuan pendidikan, memahami hakikat manusia, memahami ilmu dan adab. Tanpanya, penggantian kurikulum akan cenderung artifisial.
Selain itu, perubahan kurikulum harus lepas dari perubahan rezim dan aspek politis, sebab kurikulum berbicara masalah karakter bangsa, masalah-masalah fundamen dan lebih permanen dari sekadar pergantian penguasa.
Kita tidak harus membeo pada sistem pendidikan luar negeri yang secara hakikat memiliki perbedaan mendasar. Dalam sistem pendidikan kita, ada aspek iman dan takwa di situ. Kita hanya mengambil hal-hal yang positif dan yang diperlukan dari sistem pendidikan di luar negeri, dan perlu merumuskan sendiri untuk mencapai tujuan pendidikan kita.
Apa yang menurut Anda harus ditekankan dari perubahan kurikulum tersebut?
Pertama, perumus kurikulum harus diserahkan kepada mereka yang paham pada makna pendidikan. Kedua, perubahan kurikulum tidak sekadar masalah teknis dan metodologis, tapi filosofis yang arahnya mencapai pada hakikat dan makna pendidikan yang sudah disepakati.
Jadi, tolak ukurnya, sejauh mana kita mencapai makna dan tujuan pendidikan, bukan semata-mata menjawab perubahan zaman. Adapun teknis dan metodologis mengikuti kebutuhan pada level filosofis. Ketiga, berikan waktu pada perubahan kurikulum untuk dipahami hingga pada level dan satuan pendidikan terbawah.
Sejauh mana materi pendidikan agama dan nilai-nilai moral diserap oleh siswa?
Kita harus mulai mengubah cara pandang bahwa pendidikan agama dan moral adalah tanggung jawab guru agama saja. Sebab makna pendidikan dalam segala pelajaran bermuara pada iman dan takwa. Maka guru sains, matematika, IPS, sejarah punya tanggung jawab dalam bidang moral dan agama. Itu yang pertama.
Yang kedua, pendidikan agama dan nilai moral tidak mungkin berhasil jika nilai agama dan moral tidak dijalankan terlebih dahulu oleh para pendidik. Ini masalah keteladanan. Saya tidak sepakat dengan kurikulum yang berpusat kepada peserta didik serta lingkungan. Dalam masalah-masalah tertentu, gurulah dan harus guru, yang menjadi posisi sentral dalam proses pendidikan. Misalnya, masalah akhlak, moral, dan adab.
Pesantren sebetulnya selangkah lebih maju di mana para santri melihat keseharian para ustadnya: bagaimana guru memperlakukan istri dan anak-anaknya, bagaimana ketaatan guru, adab-adab guru dalam setiap detail kehidupannya. Inilah yang dilakukan Nabi Muhammad SAW, karena adab dan akhlak tidak bisa sekadar diajarkan dalam ruang kelas.
Bagaimana Anda melihat ketersediaan guru di Indonesia, apakah bisa diharapkan?
Tidak dapat dipungkiri bahwa minat masyarakat untuk menjadi tenaga pendidik masih rendah, meski patut diakui bahwa apresiasi pemerintah kepada tenaga pendidik sudah jauh lebih baik dari sebelumnya, seperti tunjangan tambahan dalam bentuk kebijakan sertifikasi guru dan dosen. Ini menaikkan minat masyarakat untuk menjadi pendidik.
Namun jika tidak dikawal dengan rencana dan program yang jelas, bisa berdampak negatif. Misalnya, guru yang mati-matian mencari sekolah demi memenuhi jumlah jam mengajar yang dipersyaratkan dalam tunjangan profesi, yang terkadang tanpa memperhatikan bidang keahlian guru. Demikian pula dengan dosen, terkadang hanya diperoleh dengan pemenuhan BKD (Beban Kerja Dosen) yang seadanya.
Bagaimana dengan infrastruktur dan sarana pendidikan di Indonesia?
Infrastruktur, fasilitas dan sarana pendidikan di Indonesia secara umum masih tertinggal dibandingkan, katakanlah Malaysia. Itu fakta. Namun hal-hal material seperti itu bukanlah segala-galanya. Tolok ukur kecemerlangan pendidikan ada pada manusianya, bukan pada fasilitas dan infrastruktur semata-mata.
Seorang pakar pendidikan Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud mengatakan, “Jika universitas dunia Islam menggunakan tolok ukur keunggulan dan kecemerlangan berasaskan pandangan alam dan nilai keilmuan yang bertentangan dengan pandangan alam dan nilai keilmuan Islam, maka keunggulan dan kecemerlangan yang diraih itu akan menggantikan sebagian penting ruh Islam dan tradisi agama serta institusi peradaban.
Dewasa ini selalu ada dikotomi pendidikan umum dan agama, apa pendapat Anda?
Dikotomi ini dampak dari sekularisasi dunia Barat yang secara sadar atau tidak telah diimpor oleh para sarjana Muslim ke dunia Islam. Epistemologi Islam sebenarnya lebih kaya dan lebih luas dari epistemologi Barat. Ada Khabar Shadiq dan hierarki di situ, yang tidak dikenal dalam epistemologi keilmuan Barat.
Ketika bekal epistemologi Barat yang dimiliki para ilmuwan dan pendidik Muslim harus berhadapan dengan pendidikan agama, maka muncul masalah yang membawa pada dikotomi. Karena masalah dikotomi ini masalah epistemologis, maka obatnya harus obat epistemologis. Para guru dan dosen Muslim perlu memahami epistemologi yang benar menurut Islam. Jika tidak, masalah dikotomi keilmuan dan pendidikan tidak akan selesai.

Biodata
Nama         : Usep Mohamad Ishaq S.Si, M.Si.
TTL               : Bandung, 11 April 1976
Pendidikan         : Sarjana (S1) Departemen Fisika, Institut Teknologi Bandung (2000)Magister (S2) Program Studi Fisika, Institut Teknologi Bandung (2005)
Aktivitas    : Direktur PIMPIN (Institut Pendidikan Islam dan Pembangunan Insan)
                        Dosen mata kuliah Fisika UNIKOM Bandung
        Koordinator Laboratorium Fisika Dasar UNIKOM Bandung
                        Ketua Jurusan Teknik Komputer UNIKOM (2005-2006)
Karya Tulis :
1.     Fisika Dasar (Graha, Yogyakarta Ilmu - 2006)
2.     Porosity and Fracture Pattern of Coal as CBM Reservoir Asian Physics Symposium (2009)
3.     Prospek Coalbed Methane sebagai Sumber Energi Alternatif Baru (Kopertis Wil IV –2006)
4.     Study of Seismic Wave In Fractured Reservoir Rock Using Analytical and Physical Model, Proceeding of Asian Physics Symposium (Departemen Fisika ITB-2005)
5.     Pemetaan Bawah Tanah Menggunakan Metode Geolistrik di Lebak Siliwangi (LPPM UNIKOM -2004)
6.     Elektrisitas dan Magnetisme (Graha Ilmu -2007)
7.     Menguak Rahasia Alam Dengan Fisika (Buku Pemenang 1 Nasional Lomba Penulisan Buku MIPA Departemen Agama RI- Penerbit Albama – 2009).

disalin dari laman http://www.majalahgontor.net/index.php?option=com_content&view=article&id=649%3Aperubahan-kurikulum-harus-bebas-dari-kepentingan-rezim&catid=25%3Awawancara&Itemid=104

Tidak ada komentar:

Posting Komentar